Senin, 20 Juni 2011

askep diabetes melitus

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Diantara penyakit degenerative, diabetes adalah salah satu diantara penyakit yang tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa akan datang. Diabetes sudah merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap diabetes mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5 juta jiwa.
Pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita (Promosi Kesehatan Online, Juli 2005). Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat. Dan tindakan keperawatan sangat perlu dilakukan dalam penyembuhan diabetes melitus dan terjadinya ganggren diabetik. Maka, judul makalah ini adalah ”Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Diabetes Melitus”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang ditelaah dalam makala ini adalah “Bagaimanakah Asuhan keperawatan Pada Klien Dengan Penyakit Diabetes Melitus?”
C. Tujuan
Agar mahasiswa Stikes Karya Kesehatan Kendari dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan Penyakit Diabetes Melitus
Tujuan khusus.
1. Dapat memahami pengertian Penyakit Diabetes Melitus
2. Dapat memahami penyebab terjadinya Penyakit Diabetes Melitus
3. Dapat memahami tanda dan gejala pada Penyakit Diabetes Melitus
4. Dapat memahami proses terjadinya Penyakit Diabetes Melitus
5. Dapat memahami asuhan keperawatan Penyakit Diabetes Melitus

D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai berikut:
1. Bagi perkembangan keperawatan.
Agar karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan sebagai bahan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Diabetes Melitus, sehingga dapat dilakukan tindakan yang segera untuk mengatasi masalah yang terjadi pada pasien dengan Penyakit Diabetes Melitus.
2. Bagi pembaca
Memberikan pengertian, pengetahuan dan pengambilan keputusan yang tepat kepada pembaca. Khususnya dalam menyikapi dan mengatasi jika ada penderita Penyakit Diabetes Melitus





BAB II
TINJAUAN TEORI


A. Pengertian

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolik kronis yang tidak dapat di
sembuhkan tetapi dapat dikontrol yang di karakterisasikan dengan hiperglikemia
karena definisi insulin atau ketidakadekuatan penggunaan insulin, (Engram,
1998).
Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kro -nik disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pa-da mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai le si pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektronik.
(Mansjoer, 2001).
Diabetes mellitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara
relatif kekurangan insulin. (Tucker, 1998).
Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar, 2001 ).
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001).

B. Anatomi Fisiologi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.

Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
a) Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
b) Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.

Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 , sedangkan yang terbesar 300 , terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 . Jumlah semua pulau langerhans di pancreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
a. Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang menjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
b. Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
c. Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
d.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat, dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi.

Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda.
Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.

C. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.
WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2.
Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM).
Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.
1. Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
a. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
b. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA mitokondria
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibro kalkulus
d. Endokrinopati:
• Akromegali
• Sindroma Cushing
• Feokromositoma
• Hipertiroidisme
e. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
f. Diabetes karena infeksi
g. Diabetes Imunologi (jarang)
h. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Willi
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
a. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
b. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

D. Etiologi
Menurut Mansjoer dkk. (1999), etiologi penyakit Diabe -tes Mellitus adalah sebagai berikut :
a. Diabetes mellitus Tipe I (DMT I)
Diabetes Mellitus tipe ini disebabkan oleh deskripsi sel beta pulau langer
haus akibat proses auto imun, sebab -sebab multi faktor seperti presdisposisi
genetik.
b. Diabetes Mellitus Tipe II (DMT II)
Diabetes mellitus tipe ini disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin, resistensi insulin adalah tu -runnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukkosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat pro-duksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak ada maupun
mengimbangi resestensi insulin ini se penuhnya, artinya ter-jadi defisiensi
relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan gluko-sa, maupun pada rangsangan glukosa bersama
bahan perangsang sekresi insuin lain. Berarti sel beta pankreas mengalami
desensetisasi terhadap glukosa.
E. Patofisiologi
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin.
Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu.
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal.
Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin.
Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan.
Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang takterkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. P
ada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok: a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes) c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl) d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
4. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes.
Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:
Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl), atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dl. F. Manifestasi klinik Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah : 1. Katarak 2. Glaukoma 3. Retinopati 4. Gatal seluruh badan 5. Pruritus Vulvae 6. Infeksi bakteri kulit 7. Infeksi jamur di kulit 8. Dermatopati 9. Neuropati perifer 10. Neuropati viseral 11. Amiotropi 12. Ulkus Neurotropik 13. Penyakit ginjal 14. Penyakit pembuluh darah perifer 15. Penyakit koroner 16. Penyakit pembuluh darah otak 17. Hipertensi Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak. Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas. Menurut Price (1995) manifestasi klinis dari DM adalah sebagai berikut : 1. DM tergantung insulin / DM Tipe I Memperlihatkan gejala yang eksplosif dengan polidipsi, poliuri, polifagia, turunnya BB, lemah, mengantuk yang terjadi selama sakit atau beberapa minggu, pende-rita menjadi sakit berat dan timbul ketosidosis dan dapat meninggal kalau mendapatkan pengobatan dengan sege -ra, biasanya diperlukan terapi insulin untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. 2. DM tidak tergantung insulin / DM Tipe II Penderita mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, pada hiperglikemia yang lebih berat, mung -kin memperlihatkan polidipsi, poliuri, lemah, dan somno-len, biasanya tidak mengalami ketoasidosis, kalau hiperglikemia berat dan idak respon terhadap terapi diet mung -kin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glu -kosanya. Kadar insulin sendiri mungkin berkurang normal atau mungkin meninggi tetapi tidak memadai untuk mem-pertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen. G. Pemeriksaan Penunjang a. Glukosa darah sewaktu b. Kadar glukosa darah puasa c. Tes toleransi glukosa Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu - Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa - Plasma vena - Darah kapiler < 100 <80 <110 <90 100-200 80-200 110-120 90-110 >200
>200

>126
>110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
H. Komplikasi
Komplikasi diabetes Mellitus adalah sebagai berikut (Mansjoer, 1999) :
a. Komplikasi akut
i. Kronik hipoglikemia
ii. Ketoasidosis untuk DM tipe I
iii. Koma hiperosmolar nonketotik untuk DM Tipe II
b. Komplikasi kronik
i. Makroangiopati mengenai pembuluh darah besar, pem -buluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembu -luh darah otak
ii. Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retino -pati diabetik dan
nefropati diabetic
iii. Neuropati diabetic
iv. Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih
v. Ulkus diabetikum
Pada penderita DM sering dijumpai adanya ulkus yang disebut dengan ulkus
diabetikum. Ulkus adalah ke-matian jaringan yang luas dan disertai invasif
kuman saprofit. Adanya kuman sap rofit tersebut menyebabkan ulkus berbau,
ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan
penyakit DM dengan neuropati perifer. Ulkus terjadi karena arteri menyempit
dan selain itu juga terdapat gula berlebih pada jaringan yang merup akan
medium yang baik sekali bagi kuman, ulkus timbul pada daerah yang sering
mendapat tekan-an ataupun trauma pada daerah telapak kaki ulkus
berbentuk bulat biasa berdiameter lebih dari 1 cm berisi massa jaringan
tanduk lemak, pus, serta krusta di atas. Grade ulkus diabetikum yaitu :
1. Grade 0 : tidak ada luka
2. Grade I : merasakan hanya sampai pada permukaan kulit
3. Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
4. Grade III : terjadi abses
5. Grade IV : gangren pada kaki, bagian distal
6. Grade V : gangren pad seluruh kaki dan tungkak bawah distal
Pengobatan dan perawatan ulkus dilakukan de -ngan tujuan pada penyakit
yang mendasar dan terha-dap ulkusnya sendiri yaitu :
Usahakan pengobatan dan perawatan ditujukan terhadap penyakit terhadap
penyakit kausal yang men-dasari yaitu DM. Usaha yang ditujukan terhadap ulkusnya antara lain dengan antibiotika atau kemoterapi. Pemberian luka dengan mengompreskan ulkus dengan larutan klorida atau larutan antiseptik ringan. Misalnya rivanol dan larutan kalium permanganat 1 : 500 mg dan penutupan ulkus dengan kassa steril. Alat-alat ortopedi yang secara mekanik yang da -pat merata tekanan tubuh terhadap kaki yang luka. Am-putasi mungkin diperlukan untuk kasus DM
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi 2 (dua)
golongan :
1. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI )
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati ( arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis.
Gambaran klinis KDI :
- Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
- Pada perabaan terasa dingin.
- Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
- Didapatkan ulkus sampai gangren.
2. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN )
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.

I. Penatalaksanaan
Dalam jangka pendek penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan keluahan atau gejala sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa. Penatalaksanaan pada diabetes melitus yaitu :
a. Perencanaan makan
Menurut Tjokro Prawiro (1999) Pada konsensus perkumpulan endokrinologi indonesia (PERKENI) telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa :
Karbohidrat : 60-70 %
Protein : 10-15 %
Lemak : 20-25 %
Pada diet DM harus memperhatikan jumlah kalori, jadwal makan, dan jenis makan yang harus dipantang gula.
Menurut Tjokro Prawiro,(1999) Penentuan gizi penderita dilakukan dengan menghitung prosentase Relatif Body Weigth dan dibedakan menjadi
a. Kurus : berat badan relatif : <90% b. Normal : berat badan relatif : 90-110% c. Gemuk : berat badan relatif : >110 %
d. Obesitas : berat badan relatif : >120 %
e. Obesitas ringan 120 – 130 %
f. Obesitas sedang 130 – 140 %
g. Obesitas berat 140 – 200 %
h. Obesitas morbid > 200 %
Apabila sudah diketahui relatif body weigthnya maka jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk penderita DM adalah sebagai berikut :
a. Kurus : BB x 40-60 kalori / hari
b. Normal ; BB x 30 kalori / hari
c. Gemuk : BB x 20 kalori / hari
d. Obesitas : BB x 10-15 kalori / hari
b. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secar teratur 3 -4 x tiap minggu selama ½ jam. Latihan dapat dijadikan pilihanadalah jalan kaki, joging, lari, renang, bersepeda dan mendayung. Tujuan latihan fisik bagi penderita DM :
i. Insulin dapat lebih efektif
ii. Menambah reseptor insulin
iii. Menekankenaikan berat badan
iv. Menurunkan kolesterol trigliseriid dalam darah
v. Meningkatkan aliran darah
c. Obat berkhasiat hipoglikemik
i. Sulfonil urea
ii. Biguanid
iii. Inhibitor alfa glukosidase
iv. Insulin sensitizing agen
Indikasi penggunaan insulin pada DM Tipe I adalah sebagai berikut :
a. DM dengan berat badan menurun cepat
b. Ketoasidosis, asidosis laktat, dan hipoosmolar
c. DM stress berat (interaksi sistemik, operasi berat)
d. DM kehamilan
e. DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosis
maksimal atau ada kontra indikasi dengan obat tersebut.
d. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan meliputi pengertian, penyebab, tanda gejala, jenis
atau macamnya, komplikasi, penatalaksanaan pada penderita DM.




















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN



A. Pengkajian

Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah keperawatan yang ada pada klien.
1. Pengumpulan Data
a. Biodata
Penderita diabetes mielitus dapat mengenai seluruh usia, biasanya untuk tipe IDDM muncul pada usia muda dan NIDDM pada usia dewasa
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama dan Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang sering muncul adalah : kelemahan, polyuria, polydipsia dan polyphagia disamping keluhan sistemik lainnya.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Pada tipe NIDDM sering ditemukan adanya kebiasaan pemasukan kalori berlebihan yang menyebabkan timbulnya obesitas pada penderita, ataupun adanya riwayat pernah mengalami penyakit yang berhubungan dengan kelenjar pankreas dan insulitis
3) Riwayat kesehatan keluarga
Diabetes mielitus merupakan salah satu penyakit yang dapat diturunkan secara genetik, hal ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi atau jumlah sel-sel beta (Price,1995).

c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan sistem tubuh secara menyeluruh dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
1) Sistem Endokrin
Biasanya didapatkan data polifagi, polidipsi, mual, muntah, kehilangan BB atau obesitas, pembesaran tyroid, bau aseton.
2) Sistem Kardiovaskuler
Biasanya didapatkan data hipotensi ortostatik, akral dingin, nadi perifer melemah terutama pada tibia posterior dan dorsalis pedis, CRT menurun dan dapat pula ditemukan adanya keluhan nyeri dada. Apabila telah terdapat kelaianan jantung akan diperoleh kelainan gambaran EKG lambat.
3) Sistem Pernafasan
Biasanya didapatkan pernafasan kusmaul bila sudah terkena ketoasidosis, nafas bau aseton.
4) Sistem Pencernaan
Biasanya didapatkan data mual, muntah, perasaan penuh pada perut, konstipasi, penurunan BB. Tetapi dapat pula ditemukan napsu makan yang meningkat.
5) Sistem Perkemihan
Biasanya didapatkan data poliuri dan nokturia, bahkan dalam tahap lanjut klien dapat mengidap penyakit gagguan ginjal kronis.
6) Sistem Integumen
Biasanya didapatkan data turgor kulit menurun, bisul-bisul, keluhan gatal-gatal, luka dan penurunan suhu tubuh.
7) Sistem Muskuloskeletal
Biasanya didapatkan kelemahan kaki, kekakuan pada ekstemitas bawah.
8) Sistem Persarafan
Biasanya didapatkan data penurunan fungsi sensasi sensori, nyeri, penurunan suhu pada kaki, penurunan reflek, nyeri kepala dan bingung.
9) Sistem Pengindraan
Biasanya didapatkan data gangguan pada pengindraan, penglihatan berupa katarak, penglihatan kabur.
10) Sistem Reproduksi
Biasanya didapatkan data impoten pada pria, dan penurunan libido pada wanita disertai keputihan.
d. Pemeriksaan Penunjang
Dalam pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah, EKG dan urine.
2. Analisa Data
Analisa data adalah kemampuan mengkaitkan dan menghubungkan data dengan konsep teori dan prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan klien (Nasrul Effendy, 1995: 24).


B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisa dari interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian keperawatan. Diagnosa keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi (potensial) dimana pemecahannya dalam batas wewenang perawat. Diagnosa yang mungkin timbul akibat diabetes mielitus menurut Doenges, M. E, (2001), Urden, L.D. (2006), sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
2. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
3. Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas, perubahan status metabolik (neuropati perifer).
4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
6. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
7. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
8. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
9. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.

C. Intervensi
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
 Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
R: hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia
 Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
R: pernapasan yang berbau aseton berhubungan pemecahan asamaseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi.
 Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
R: pernapasan cepat,dangkal dan sianosis merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan
 Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
R: merupakan indikastor dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat
 Pantau masukan dan pengeluaran
R: memberikan perkiraan kebutuhan akan cairanpengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan terapi yang diberikan
 Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
R: mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi
 Catat hal-hal seperti mual,nyeri abdomea, muntah dan distensi lambung.
R: Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung yang sering kali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit.
 Kolaborasi :
berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa,
pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan atau oral sesuai indikasi
berikan bikarbonat jika PH < 7,0
2. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
 Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
 Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
 Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi
R: mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
 Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
R: mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik
 Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
R: hiperglikemia atau gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/fungsi lambung
 Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
R: pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal baik
 Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
R: memberi informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi klien.
 Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
R: karena metabolism karbohidrat mulai terjasi sementara insulin tetap diberikan maka hipoglikemia dapat terjadi. Pada klien yang tidak sadarkan diri, mungkin tidak memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.
 Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan “finger stick”.
R: analisa gula darah di tempat tidur lebih akurat dari pada memantau gula dalam urin
 Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
R: membantu proses pemindahan glukosa dari darah ke tingkat sel
 Kolaborasi dengan ahli diet.
R: bermanfaat dalam penghitungan kebutuhab nutrisi klien
3. Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas, perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.
Kriteria hasil :
Berkurangnya oedema sekitar luka.
pus dan jaringan berkurang
Adanya jaringan granulasi.
Bau busuk luka berkurang
Intervensi:
• Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.
R: Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.
• Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
R: merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka. larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul,sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
R: insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit.
4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
 Hindarkan lantai yang licin.
R: menghindari dari terjadinya injury saat klien berdiri atau berjalan menuju kamar mandi
 Gunakan bed yang rendah dan palang tempat tidur.
R: menghindari terjadinya injuri yang berat jika bed terlalu tinggi
 Orientasikan klien dengan ruangan.
R: orientasi dapat membantu klien mengenal ruangan lebih jelas dan memudahkan klien dalam beraktivitas
 Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
R: pada klien yang tidak mampu melakukan aktivitas perlu dibantu untuk mencegah terjadinya kelelahan yang berat
 Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
R: perubahan posisi menghindari terjadinya keram dan pada klien yang tidak sadarkan diri mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus
5. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Tujuan :
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi :
• Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
R: Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
• Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
R: Mencegah timbulnya infeksi silang.
• Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
R: Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
• Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
R: Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi.
• Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
R: Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.
6. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi :
• Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
R: Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal
• Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
R: Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
• Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
R: Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya.
• Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
R: Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.
7. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
Tujuan :
Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :
• Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
R: Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
• Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
R: Mencegah kelelahan yang berlebihan.
• Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.
R: Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
• Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
R: Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi.
8. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan :
Mengakui perasaan putus asa
Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi :
• Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
R: Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.
• Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
R: Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping.
• Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
R: Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
• Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.
R: Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.

9. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.
Tujuan :
Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan.
Intervensi :
• Ciptakan lingkungan saling percaya
R: Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.
• Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
R: Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup.
• Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
R: Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/mentaati program.
• Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat.
R: Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat.

























BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan
Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar, 2001 ).
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001).
Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.
1. Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel β :
kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
DNA mitokondria
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas:
Pankreatitis
Trauma/Pankreatektomi
Neoplasma
Cistic Fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus
Endokrinopati:
• Akromegali
• Sindroma Cushing
• Feokromositoma
• Hipertiroidisme
Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
Diabetes karena infeksi
Diabetes Imunologi (jarang)
Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Willi
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
Diagnosa yang mungkin timbul akibat diabetes mielitus menurut Doenges, M. E, (2001), Urden, L.D. (2006), sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
2. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
3. Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas, perubahan status metabolik (neuropati perifer).
4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
6. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
7. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
8. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
9. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.

B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Sebagai seorang perawat kita seharusnya mengetahui tanda dan gejala dari penyakit Diabetes Melitus
2. Sebagai seorang perawat kita seharusnya dapat menangani dengan segera kasus penyakit Diabetes Melitus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar